Aceh atau Barus tidak
bermakna option dan diminta untuk memilih, tetapi diskursus pada gate
mana awal Islam di Nusantara. Dan tidak juga di orkestrasi bahwa Aceh gate
Islam Asia Tenggara dan Barus gate Islam Nusantara. Jika itu asumsinya,
maka akan terjadi perdebatan semantik mengenai kata Nusantara. Namun, yang
diinginkan bagaimana masa lalu berbicara
apa adanya tanpa pemaksaan sejarah. Memori publik saat ini memaklumi bahwa Aceh
gate pertama Islam dan kemudian menyebar keseluruh penjuru Nusantara.
Dan belakangan, Barus ditabalkan titik
nol Islam Nusantara sehingga banyak pihak terkejut, seperti
kehilangan pengetahuan bahkan muncul reaksi berbeda - beda. Reaksi itu dapat
dipahami karena berbeda seperti lazimnya diketahui. Sebenarnya, bagi masyarakat
Aceh mengenai gate Islam Nusantara sudah final dan sudah tutup buku.
Artinya, sudah dipahami bersama bahwa gate Islam pertama di Nusantara
adalah Aceh. Maknanya Aceh adalah titik nol Islam Nusantara. Meskipun tidak menafikan wacana-wacana akademis - dialogis berkaitan
Islam Nusantara, apalagi menyangkut sejarah. Meskipun demikian, kita harus
melihat hal ini dengan jernih dan penuh kearifan. Akan selalu ada tesa, anti
tesa dan sintesa dalam kajian ilmu pengetahuan, seperti dalam
perbicangan ilmu pendidikan. Ada paham Nativisme, Empirisme maupun Konvergensi,
tentu kita yakini bahwa masing-masing memiliki landasannya.
Dalam sejarah Nusantara,
Aceh dan Barus kerap dibincangkan sejarawan sebagai titik nol Islam Nusantara, karena dua daerah ini dianggap sebagai
gate masuk dan berkembang Islam di Nusantara. Hal ini diyakini bukan tanpa
dasar, tetapi didasari pada residual sejarah yang ditemukan. Wilayah ini belakangan dikenal luas di Nusantara
bahkan di manca negara. Popularitas kedua wilayah tersebut mengundang perhatian semua pihak, baik sejarawan, akademisi, ilmuwan maupun para pihak yang
peduli dengan sejarah. Disisi lain, tidak dipungkiri bahwa begitu pelik ketika masa lampau dipahami di
era modern. Ini disebabkan karena orang -
orang yang hidup saat ini tidak pernah terlahir di era ketika Islam datang. Pengetahuan menjadi terbatas, yang dapat
dilakukan yakni melakukan konfirmasi pada data sejarah.
Aceh diaksentuasi sebagai
gate pertama Islam Nusantara, konklusi
ini dilandasi dengan data - data hasil eksplorasi dan banyak sejarawan
mengakuinya. Artinya, ini bukan sebuah penyataan
naratif deskriptif minus data. Bahkan
sudah dibincangkan dalam sebuah seminar masuknya Islam di Nusantara di Rantau, Kuala
Simpang pada tahun 1980. Uniknya lagi, beberapa waktu lalu Barus ditabalkan
titik nol Islam di Nusantara, maka sejarah yang akan kita baca berbeda
lagi. Sehingga posisi Barus mempunyai peran penting dalam Islamisasi. Aceh dan Barus
secara geografis berada di kepulauan Sumatera dan bukan wilayah di luar
Nusantara. Dan kita bangga bahwa Nusantara (Indonesia) wilayah pertama gate
Islam Asia Tenggara. Ini menjadi warisan sejarah bangsa dan harus dijaga
bersama.
Supaya tidak terjadi
kebingungan sejarah dan semua pihak tidak terjebak dalam asumsi - asumsi
personal. Maka tidak ada salahnya jika hal ini diskusikan secara akademis
sebagai bentuk pelurusan sejarah Nusantara.
Ini penting dilakukan untuk menyamakan persepsi kembali dalam rangka antisipasi
terjadi simpang siur sejarah. Kemudian, harus diingat bahwa semua data, baik di
Aceh maupun Barus merupakan warisan atau khazanah Nusantara dan milik rakyat
Indonesia. Semua kebanggan kita terhadap Aceh dan Barus adalah kebanggaan
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Dan kita bersyukur bahwa Islamisasi di Nusantara
berjalan baik dan damai.
Wacana akademis ini
pantas dan layak dilakukan dalam bentuk ‘Seminar Nasional’ dan melibatkan semua
pihak yang mengerti dan peduli sejarah.
Tidak hanya sejarawan,
akademisi, cendikiwan, ulama bahkan pemerintah harus proaktif untuk
mendiskusikan sejarah Islam Nusantara.
Hasil seminar tersebut akan menjadi sejarah permanen atau dapat
dipatenkan supaya tidak diperdebatkan lagi di kemudian hari. Hanya ‘Seminar Nasional’ sebagai solusi untuk
memperbicangkannya sehingga semua pertanyaan akademis dapat terjawab. Kita
menyambut baik upaya penggalian sejarah bangsa, dan yang lebih penting lagi
adalah perawatan sejarah. Karena bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Kita satu bangsa dan kita semua bersaudara, kita
tidak harus bertengkar dan berdebat tanpa akhir. Saat ini, yang dibutuhkan
adalah ‘Kesepakatan Nasional’ berdasarkan data yang akurat. Paling tidak semua
pihak diberi kesempatan untuk memaparkan data,
mengomentari, menganalisis dan memberi pandangan. Dan
seminar tersebut, setidaknya akan menjadi event silaturahmi
nasional untuk menentukan sejarah bangsa mengenai Islam Nusantara.